Headlines News :
Home » , » Perkembangan Zakat dan Wakaf Indonesia dari Masa ke masa

Perkembangan Zakat dan Wakaf Indonesia dari Masa ke masa

Written By Admin on Kamis, 16 Februari 2012 | 00.04



Risalah Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA

Belakangan ini sebagian pegiat zakat sedang dilanda kegelisahan perihal pengesahan RUU Zakat  menjadi undang-undang. Pasalnya pengesahan UU zakat tersebut tidak memberikan dampak positif bagi perkembangan zakat Indonesia. Sebaliknya  bisa menjadi lonceng kematian bagi Lembaga Amil Zakat ( LAZ ) Nasional. Dan inti dari UU tersebut, menurut Yusuf Wibisono, wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE-UI, hanya penguatan peran Badan Amil Zakat milik pemerintah.



Asep Saepuddin Jahar (42), dalam disertasinya mengatakan pada masa orde baru Islam dianggap sebagai penghambat ruh pancasila. Maka Soeharto selaku Pemimpin Negara saat itu secara tidak langsung melarang adanya unsur agama masuk ke ranah politik. Sehingga peraturan undang-undang dan regulasi zakat dan wakaf pun enggan di bahas dalam pemerintahan. 

“ Maka tidak heran jika saat itu pemerintah menyerahkan urusan zakat dan wakaf kepada masyarakat,” ungkap Asep Jahar, penulis disertasi Reinterpreting Islamic Norms, The Conflict Between Legal Paradigms and Sosio-Economic Challenges (a case study of waqf and zakat in contemporary Indonesia). Reinterpretasi Norma Islam, Konflik Antara Paradigma Hukum dan Tantangan Sosio-Ekonomi (studi kasus wakaf dan zakat di Indonesia).


Disertasi ini, kata Asep,beranjak dari satu asumsi bahwa apa yang mendasari perbedaan antara kenyataan dan teori dalam zakat dan wakaf di Indonesia dihubungkan dengan ajaran dan norma hukumnya.

Hal ini terlihat ada suatu ketimpangan bahwa masyarakat Indonesia banyak berwakaf dan memang sedikit berzakat pada saat awal colonial, pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Karena itu permasalahan mendasar. “Saya mencoba menelusuri model-model praktek zakat dan wakaf yang berlaku dari zaman sebelum orde baru seperti apa prakteknya,” tutur alumni Islamic Studies, McGill University, Canada ini.

Sebelum zaman orde baru, praktek zakat di Indonesia hanya sebatas zakat fitrah saja. Yang dilakukan umat Muslim sekali setahun pada bulan Ramadhan.Walaupun ada zakat maal objeknya hanya zakat tanaman hasil panen. Sedangkan zakat perniagaan dan zakat emas tidak diterapkan.


Masyarakat muslim dan ulama memahami zakat bersifat ubudiyah belum dipahami sebagai sebuah ibadah sosial. Pengurus zakat pada masa kolonial diserahkan kepada penghulu maupun kaki tangan penguasa.

Kasus wakaf pun demikian, dimana yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan benda.  Ketika  menahan benda juga dipahami secara ubudiyah, ritual. Karena wakaf dipahami sebatas benda mati, tanah dan bangunan. Karena anggapannya wakaf adalah sesuatu yang abadi. “Jarang ditemukan wakaf yang langsung menimbulkan manfaat Secara ekonomi,” kata Asep

Pada masa pemerintahan kolonial , zakat dan wakaf tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan agama. Hasil zakat dan wakaf merupakan alat politik sebagai dukungan materi untuk gerakan pemberontakan melawan penguasa kolonial saat itu.

Oleh karena itu zakat mengundang perhatian masyarakat kolonial. Jika makin besar dana zakat yang dikumpulkan masyarakat Muslim Indonesia, takutnya digunakan untuk dana pemberontakan melawan mereka. Sebagai upaya agar wakaf dan zakat tidak
digunakan untuk kesejahteraan sosial di kalangan masyarakat Muslim serta
tujuan politik. Maka zakat sering digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara.

Para 'ulama', lanjut Asep, di sisi lain sangat konservatif dalam menentukan wakaf dan zakat dalam konteks sosial dan keagamaan. Dalam hal perspektif agama, mereka berpegang teguh bahwa wakaf dan zakat harus berdasarkan pada mekanisme aturan hukum yang ditentukan dalam fiqh klasik. Pendekatan normatif ini kemudian langsung membawa praktek wakaf dan Pengelolaan Zakat dalam masyarakat. Misalnya,mereka lebih peduli dengan sifat ritual wakaf dan zakat daripada fungsi sosial dan ekonomi.

Dapat dikatakan bahwa kondisi wakaf dan zakat tidak dapat dipisahkan dari peran organisasi Muslim seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang berfungsi sebagai agen sosial dan perkembangan agama. Tidak diragukan lagi pada NU dan Muhammadiyah bahwa filosofi Kesejahteraan sosial yang diabadikan dalam wakaf dan zakat tidak dieksplorasi secara signifikan, yang tersisa hanya pada prinsip-prinsip sistem ritual sesuai dengan fiqh klasik. 

Sebagai organisasi Islam tradisionalis, NU sangat memprihatinkan dengan memastikan bahwa kegiatan wakaf dan zakat dilakukan dalam batas-batas dan persyaratan hukum Islam saja. Dan mengabaikan pentingnya pengelolaan dana zakat dan wakaf yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi umat.

Memang, pendapatan wakaf dan zakat dalam beberapa hal tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan dan pengembangan pesantren atau madrasah di daerah yang didominasi NU.

Sedangkan Muhammadiyah, zakat telah dikelola menggunakan sistem lebih modern, yang diatur oleh  departemen tertentu dengan memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah, rumah sakit dan kegiatan sosial.

Namun kasus wakaf, sistem administrasi jauh dari kata memuaskan, karena ada banyak aset wakaf yang tidak dioperasikan atau pengelolaannya tidak baik. Fenomena ini secara langsung terkait dengan kelemahan sistem administrasi dan kekhawatiran politik dalam Muhammadiyah. Para dewan administrasi wakaf  hanya mengurus pencatatan wakaf.

Setelah mencoba memahami konsep yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah. Direktur akademik pascasarjana Institut Ilmu Al-quran (IIQ) ini, menyimpulkan bahwa kedua organisasi Islam ini masih bersifat tradisional dalam pengelolaan wakaf. “ Belum ada kabar yang menggembirakan. Walaupun betul masjid dan pesantren itu dari hasil wakaf, tapi pemberdayaannya tidak ada,” tegas Asep.

Menurut Asep adanya praktek seperti ini didasari oleh dua hal. Yaitu adanya praktek tradisional terhadap masalah zakat dan wakaf. Kedua ada satu bagian lain yang terlibat yaitu unsur politik dan kekuasaan walaupun tidak langsung. Pada masa orde baru masih seperti itu.

Selama pemerintahan orde baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto selain sikap konservatif dari ulama terhadap ajaran-ajaran hukum Islam. terjadi batasan ataupun tekanan dari pemerintah orde baru untuk praktek-praktek Islam. Pada umumnya harus tunduk kepada ideologi Negara pancasila. Sehingga upaya umat Muslim untuk memiliki peraturan zakat sering gagal untuk mencapai kesepakatan Soeharto. “Orde baru melihat Islam menjadi masalah jika dikaitkan dengan pancasila. Jadi,unsur agama dihindari,” ungkap Alumni Gontor tahun 1989 ini.  

Berkenaan dengan sistem wakaf, hanya ada satu peraturan pemerintah. Yaitu peraturan pemerintah no 28/1977 tentang pencatatan tanah wakaf. yang merujuk ke peraturan UU no 60 tentang tanah yang digunakan untuk kepentingan sosial agama. “ itu pun hanya pencatatannya saja,” ungkap dosen Universitas Islam Negeri Jakarta,ini.

Pasca orde baru, selama transisi pemerintahan presiden Habibi dengan lahirnya RUU zakat no 38/1999 menandai awal euforia muslim. Penerbitan RUU ini nampaknya mengindikasikan kuat bahwa pemerintahan Habibi pro kepentingan umat Islam. Karena telah memenuhi permintaan masyarakat Muslim untuk melaksanakan ajaran agama mereka dimana keinginan seperti itu sering menurun pada zaman Soeharto.

Sejak itu, mobilisasi zakat dengan melibatkan public dan lembaga swasta memberikan kesempatan bagi komunitas Muslim dalam mewujudkan kesejahteraan sosial untuk masyarakat lemah yang tidak mendapatkan perhatian Negara.

Untuk mencapai orientasi kemanusiaan tersebut, memacu intelektual Muslim dan ulama mereformulasi konsep pengumpulan dan distribusi zakat. Mereka mulai meninggalkan sikap statis dan tradisional dalam menafsirkan doktrin Islam khususnya dalam masalah zakat dan wakaf, yaitu melalui mempertimbangkan maqâsid syariah. 

“ Hal ini membawa peran zakat lebih berani masuk kewilayah ekonomoi seperti aspek niaga  dan kesehatan,” papar peneliti senior Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, ini. Sementara wakaf, dia menambahkan, sistem pemerintahan tetap tidak berubah. Walaupun telah diterbitkan Undang-undang tentang wakaf no 41/ 2004 . tetapi pelaksanakaan tidak maksimal.

Meskipun perkembangan zakat terlihat signifikan berkat pertumbuhan lembaga amil zakat. Namun, beberapa masalah masih belum terselesaikan mengenai sinergi antara lembaga amil zakat dan antara pemerintah dan lembaga amil zakat. Dengan kata lain, masing-masing lembaga zakat memiliki program dn misi sendiri tanpa koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain sebagai sarana untuk memaksimalkan dampak dan menghindari tumpang tindih.

Adanya kelemahan negara  dalam melayani masyarakat, maka wajar jika banyak bermunculan  lembaga independen yang menangani zakat. Dan dengan munculnya lembaga independen ini,banyak terdapat persaingan yang  memunculkan  oknum. Maka, dibutuhkan regulasi sebagai jaminan aman masyarakat terhadap operasional lembaga ini. “ karena jika diserahkan pada negara pun tidak akan dilayani dengan baik,” ucapnya.

“ Secara akademik pemahaman masyarakat Indonesia terhadap norma agama dan prakteknya  saling terkait. Model keislaman Indonesia dipengaruhi sistem atau norma mazhab,” tambahnya. Ryan Febrianti
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

'Quote'

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah"
- Pramoedya Ananta Toer-

" Pensil yang tumpul lebih baik dari ingatan yang tajam"
- Kaelany HD -

" Wa Laa Tamutunna Illa wa antum Kaatibuun "
- Prof.Ali Yaqub -




 
Support : Ekonomi Islam | Yans Doank | Murabahah Center
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ryan's Blog - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Yans Doank