Belakangan ini sebagian pegiat zakat sedang dilanda kegelisahan perihal pengesahan RUU Zakat menjadi undang-undang. Pasalnya pengesahan UU zakat tersebut tidak memberikan dampak positif bagi perkembangan zakat Indonesia. Sebaliknya bisa menjadi lonceng kematian bagi Lembaga Amil Zakat ( LAZ ) Nasional. Dan inti dari UU tersebut, menurut Yusuf Wibisono, wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE-UI, hanya penguatan peran Badan Amil Zakat milik pemerintah.
Asep Saepuddin Jahar (42), dalam disertasinya mengatakan
pada masa orde baru Islam dianggap sebagai penghambat ruh pancasila. Maka
Soeharto selaku Pemimpin Negara saat itu secara tidak langsung melarang adanya
unsur agama masuk ke ranah politik. Sehingga peraturan undang-undang dan
regulasi zakat dan wakaf pun enggan di bahas dalam pemerintahan.
“ Maka tidak heran jika saat itu
pemerintah menyerahkan urusan zakat dan wakaf kepada masyarakat,” ungkap Asep
Jahar, penulis disertasi Reinterpreting Islamic Norms, The Conflict Between
Legal Paradigms and Sosio-Economic Challenges (a case study of waqf and zakat
in contemporary Indonesia). Reinterpretasi Norma Islam,
Konflik Antara Paradigma Hukum dan Tantangan Sosio-Ekonomi (studi kasus wakaf
dan zakat di Indonesia).
Disertasi ini, kata Asep,beranjak dari satu asumsi bahwa apa
yang mendasari perbedaan antara kenyataan dan teori dalam zakat dan wakaf di
Indonesia dihubungkan dengan ajaran dan norma hukumnya.
Hal ini terlihat ada suatu ketimpangan bahwa masyarakat
Indonesia banyak berwakaf dan memang sedikit berzakat pada saat awal colonial,
pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Karena itu permasalahan mendasar. “Saya
mencoba menelusuri model-model praktek zakat dan wakaf yang berlaku dari zaman
sebelum orde baru seperti apa prakteknya,” tutur alumni Islamic Studies, McGill
University, Canada ini.
Sebelum zaman orde baru, praktek zakat di Indonesia hanya
sebatas zakat fitrah saja. Yang dilakukan umat Muslim sekali setahun pada bulan
Ramadhan.Walaupun ada zakat maal objeknya hanya zakat tanaman hasil panen.
Sedangkan zakat perniagaan dan zakat emas tidak diterapkan.
Masyarakat muslim dan ulama memahami zakat bersifat ubudiyah
belum dipahami sebagai sebuah ibadah sosial. Pengurus zakat pada masa kolonial
diserahkan kepada penghulu maupun kaki tangan penguasa.
Kasus wakaf pun demikian, dimana yang dimaksud dengan wakaf
adalah menahan benda. Ketika menahan benda juga dipahami secara ubudiyah,
ritual. Karena wakaf dipahami sebatas benda mati, tanah dan bangunan. Karena
anggapannya wakaf adalah sesuatu yang abadi. “Jarang ditemukan wakaf yang
langsung menimbulkan manfaat Secara ekonomi,” kata Asep
Pada
masa pemerintahan kolonial , zakat dan wakaf tidak semata-mata digunakan untuk
kepentingan agama. Hasil zakat dan wakaf merupakan alat politik sebagai
dukungan materi untuk gerakan pemberontakan melawan penguasa kolonial saat itu.
Oleh karena itu zakat mengundang
perhatian masyarakat kolonial. Jika makin besar dana zakat yang dikumpulkan
masyarakat Muslim Indonesia, takutnya digunakan untuk dana pemberontakan
melawan mereka. Sebagai upaya agar wakaf
dan zakat tidak
digunakan untuk kesejahteraan sosial di kalangan masyarakat Muslim serta
tujuan politik. Maka zakat sering digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara.
digunakan untuk kesejahteraan sosial di kalangan masyarakat Muslim serta
tujuan politik. Maka zakat sering digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara.
Para
'ulama', lanjut Asep, di sisi lain sangat konservatif dalam menentukan wakaf
dan zakat dalam konteks sosial dan keagamaan. Dalam
hal perspektif agama, mereka berpegang teguh bahwa wakaf dan zakat harus
berdasarkan pada mekanisme aturan hukum yang ditentukan dalam fiqh klasik. Pendekatan normatif ini kemudian langsung
membawa praktek wakaf dan Pengelolaan Zakat dalam masyarakat. Misalnya,mereka lebih peduli dengan
sifat ritual wakaf dan zakat daripada fungsi sosial dan ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa kondisi wakaf dan zakat tidak dapat dipisahkan dari peran organisasi Muslim seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang berfungsi sebagai agen sosial dan perkembangan agama. Tidak diragukan lagi pada NU dan Muhammadiyah bahwa filosofi Kesejahteraan sosial yang diabadikan dalam wakaf dan zakat tidak dieksplorasi secara signifikan, yang tersisa hanya pada prinsip-prinsip sistem ritual sesuai dengan fiqh klasik.
Sebagai
organisasi Islam tradisionalis, NU sangat memprihatinkan dengan memastikan
bahwa kegiatan wakaf dan zakat dilakukan dalam batas-batas dan persyaratan
hukum Islam saja. Dan mengabaikan pentingnya pengelolaan dana zakat dan wakaf
yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi umat.
Memang,
pendapatan wakaf dan zakat dalam beberapa hal tidak memberikan kontribusi
signifikan terhadap pembentukan dan pengembangan pesantren atau madrasah di daerah
yang didominasi NU.
Sedangkan Muhammadiyah, zakat telah dikelola menggunakan sistem lebih modern, yang diatur oleh departemen tertentu dengan memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah, rumah sakit dan kegiatan sosial.
Namun kasus wakaf, sistem administrasi jauh dari
kata memuaskan, karena ada banyak aset wakaf yang tidak
dioperasikan atau pengelolaannya
tidak baik. Fenomena ini secara langsung terkait dengan kelemahan sistem administrasi dan kekhawatiran politik dalam Muhammadiyah. Para dewan administrasi wakaf hanya
mengurus pencatatan wakaf.
Setelah mencoba memahami konsep
yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah. Direktur akademik pascasarjana Institut
Ilmu Al-quran (IIQ) ini, menyimpulkan bahwa kedua organisasi Islam ini masih
bersifat tradisional dalam pengelolaan wakaf. “ Belum ada kabar yang
menggembirakan. Walaupun betul masjid dan pesantren itu dari hasil wakaf, tapi
pemberdayaannya tidak ada,” tegas Asep.
Menurut Asep adanya praktek seperti ini didasari oleh dua
hal. Yaitu adanya praktek tradisional terhadap masalah zakat dan wakaf. Kedua
ada satu bagian lain yang terlibat yaitu unsur politik dan kekuasaan walaupun
tidak langsung. Pada masa orde baru masih seperti itu.
Selama pemerintahan orde baru dibawah kekuasaan Presiden
Soeharto selain sikap konservatif dari ulama terhadap ajaran-ajaran hukum
Islam. terjadi batasan ataupun tekanan dari pemerintah orde baru untuk
praktek-praktek Islam. Pada umumnya harus tunduk kepada ideologi Negara
pancasila. Sehingga upaya umat Muslim untuk memiliki peraturan zakat sering
gagal untuk mencapai kesepakatan Soeharto. “Orde baru melihat Islam menjadi
masalah jika dikaitkan dengan pancasila. Jadi,unsur agama dihindari,” ungkap
Alumni Gontor tahun 1989 ini.
Berkenaan dengan sistem wakaf, hanya ada satu peraturan pemerintah. Yaitu peraturan pemerintah no 28/1977 tentang pencatatan tanah wakaf. yang
merujuk ke peraturan UU no 60 tentang tanah yang digunakan untuk kepentingan
sosial agama. “ itu pun hanya pencatatannya saja,” ungkap dosen Universitas Islam
Negeri Jakarta,ini.
Pasca orde baru, selama transisi pemerintahan
presiden Habibi dengan lahirnya RUU zakat no 38/1999 menandai awal euforia muslim. Penerbitan RUU ini
nampaknya mengindikasikan kuat bahwa pemerintahan Habibi pro kepentingan umat Islam.
Karena telah memenuhi permintaan masyarakat Muslim untuk melaksanakan ajaran agama mereka dimana keinginan seperti itu sering menurun pada zaman Soeharto.
Sejak
itu, mobilisasi zakat dengan melibatkan public dan lembaga swasta memberikan
kesempatan bagi komunitas Muslim dalam mewujudkan kesejahteraan sosial untuk
masyarakat lemah yang tidak mendapatkan perhatian Negara.
Untuk
mencapai orientasi kemanusiaan tersebut,
memacu intelektual Muslim dan ulama mereformulasi konsep pengumpulan dan distribusi zakat. Mereka mulai meninggalkan sikap statis dan tradisional dalam menafsirkan doktrin Islam khususnya dalam masalah zakat dan
wakaf, yaitu melalui mempertimbangkan maqâsid syariah.
“ Hal
ini membawa peran zakat lebih berani
masuk kewilayah ekonomoi seperti aspek niaga
dan kesehatan,” papar peneliti senior Pusat Pengkajian Islam Masyarakat
(PPIM), UIN Jakarta, ini. Sementara
wakaf, dia menambahkan, sistem
pemerintahan tetap tidak berubah. Walaupun telah diterbitkan
Undang-undang tentang wakaf no 41/ 2004 . tetapi pelaksanakaan tidak maksimal.
Meskipun perkembangan zakat terlihat signifikan berkat
pertumbuhan lembaga amil zakat. Namun, beberapa masalah masih belum
terselesaikan mengenai sinergi antara lembaga amil zakat dan antara pemerintah
dan lembaga amil zakat. Dengan kata lain, masing-masing lembaga zakat memiliki
program dn misi sendiri tanpa koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain
sebagai sarana untuk memaksimalkan dampak dan menghindari tumpang tindih.
Adanya kelemahan negara dalam
melayani masyarakat, maka wajar jika banyak bermunculan lembaga independen yang menangani zakat. Dan
dengan munculnya lembaga independen ini,banyak terdapat persaingan yang memunculkan
oknum. Maka, dibutuhkan regulasi sebagai jaminan aman masyarakat terhadap
operasional lembaga ini. “ karena jika diserahkan pada negara pun tidak akan
dilayani dengan baik,” ucapnya.
“ Secara akademik pemahaman masyarakat Indonesia terhadap
norma agama dan prakteknya saling
terkait. Model keislaman Indonesia dipengaruhi sistem atau norma mazhab,”
tambahnya. Ryan Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !