Risalah Dr. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Setelah itu Didin kuliah di Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, selesai pada 1979. Setelah menamatkan pendidikan S1, pada 1980 Didin dipercaya sebagai staf pengajar Pendidikan Agama Islam di IPB. Selain itu juga mengampu matakuliah Tafsir Al-Qur’an di Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun (UIK) Bogor.
Kemudian melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB mengambil Jurusan Penyuluhan Pembangunan. Jenjang S2 ini ditempuh hanya dalam waktu setahun, 1986-1987. Untuk memperdalam bahasa Arab, pada 1994 ia kuliah di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia selama setahun.
Di universitas Ibnu Khaldun, Didin sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Syariah periode 1983-1986, rektor periode 1987-1991, lalu. Jabatan lain yang disandangnya adalah Sekretaris Majelis Pimpinan BKSPPI dan Anggota Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI).
Wawasan keagamaan Didin sangat dipengaruhi oleh perjalanan menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren. Ia pernah menimba ilmu di Pesantren ad-Dakwah Cibadak, Pesantren Miftahul Huda Cibatu Cisaat, Pesantren Bobojong, dan Pesantren Cijambe Cigunung Sukabumi.
Didin memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap dunia mahasiswa. Hal ini mengantarnya menjadi pemimpin Pesantren Ulil Albab, yakni lembaga pendidikan di bidang ilmu-ilmu keislaman bagi mahasiswa umum. Pesantren ini terbentuk oleh gagasan Muhammad Natsir dan AM Saefuddin.
Meski Didin disibukkan dengan beragam aktivitas jabatan yang disandangnya, namun ia juga produktif menulis dan menerjemah. Selain itu, beliau juga aktif di berbagai Lembaga Amil Zakat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Ketua Dewan Syariah Dompet Dhuafa Republika, pengasuh rubrik konsultasi zakat, infak, shadaqah (ZIS) di Republika,anggota pleno Forum Zakat (FOZ).
Dan juga menyandang sebagai Ketua Dewan Syariah di beberapa Bank Syariah, seperti, BPRS Amanah Ummah Leuwiliang, Bogor, Bank Syariah Bukopin, Bank Syariah IFI, dan anggota Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Didin menulis
disertasinya tentang Zakat dalam
Perekonomian Modern. Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai
instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di
lembaga-lembaga pengumpul zakat , karena pengetahuan masyarakat terhadap harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvensional
yang secara jelas dinyatakan dalam Al-quran
dan hadis dengan persyaratan tertentu.
Oleh karena itu,
salah satu pembahasan yang penting dalam fiqih zakat adalah menentukan
sumber-sumber harta yang wajib dikeluarkan zakatnya ( al amwaal
az-zakawiyyah ). Apalagi bila
dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Al-quran dan
hadis secara ekplisit menyebutkan beberapa jenis harta yang wajib dizakati,
seperti emas, perak, hasil tanaman dan buah-buahan, barang dagangan, hewan
ternak dan barang temuan (rikaz ).
Sementara itu,
Ibnul Qayyim al-Jauziyah ( wafat 751 H) menyatakan bahwa zakat itu terbagi atas empat kelompok besar.
Pertama, kelompok tanaman dan buah-buahan. Kedua, kelompok hewan ternak yang
terdiri dari tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing. Ketiga, kelompok emas
dan perak. Keempat, kelompok harta perdagangan dengan berbagai jenisnya. Sedangkan rikaz atau barang temuan sifatnya
insidental.
Dinyatakan pula
dalam al-Amwaal bahwa al Amwaal az Zakawiyyah itu terbagi atas
dua bagian. Pertama, harta zahir, yaitu harta yang tampak dan tidak
mungkin orang menyembunyikannya, seperti tanaman dan buah-buahan. Kedua, harta
batin, yaitu harta yang mungkin saja seseorang menyembunyikannya, seperti emas
dan perak.
Dalam menentukan
rincian al Amwaal az Zakawiyyah terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Sebagai contoh, Imam Malik dan Imam Syafi’I mengemukakan bahwa yang
dikenakan zakat dari jenis tumbuh-tumbuhan ialah semua yang dijadikan bahan
makanan pokok dan tahan lama. Imam Ahmad merumuskan bahwa buah-buahan dan
biji-bijian yang dimakan oleh manusia yang lazim ditakar dan disimpan serta
memenuhi persyaratan zakat harus dikeluarkan zakatnya. Pendapat yang beragam akan ditemukan pula
dalam bidang harta peternakan, perdagangan dan harta lainnya.
Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqhuz Zakat
mengemukakan berbagai pendapat para ulama tentang al - amwaal az- zakawiyyah
yang sangat beragam dengan alasan masing-masing. Ada yang meluaskan
pendapatnya, sehingga semua harta yang memenuhi nishab termasuk ke dalam objek
atau sumber zakat. Tetapi, ada pula yang menyempitkan pendapatnya, sehingga al-amwaal
az-zakawiyyah bersifat tidak berubah sesuai dengan zahirnya nash Al-Quran
dan hadis nabi.
Di samping
hal-hal yang bersifat rinci tersebut, Al-Quran pun menggunakan istilah yang
bersifat umum untuk objek atau sumber zakat, yaitu harta sebagaimana dijelaskan dalam surah at-Taubah
ayat 103.
Harta yang
dimiliki atau diinginkan untuk dimiliki oleh manusia, pada kenyataannya sangat
beragam dan berkembang terus -menerus.
Keragaman dan perkembangan tersebut berbeda dari waktu ke waktu, tidak lepas
kaitannya dengan urf ‘adat’ dalam lingkungan kebudayaan dan peradaban
yang berbeda-beda.
Di Indonesia
misalnya, di bidang pertanian, di samping pertanian yang bertumpu pada usaha
pemenuhan kebutuhan pokok, kini sektor pertanian sudah terkait erat dengan sektor
perdagangan. Demikian pula dengan sektor perdagangan yang kini perkembanngannya
sangat pesat. Mencakup komoditi perdagangan hasil bumi, hasil hutan, hasil laut
dan sebagainya.
Dan juga kegiatan
jasa yang melahirkan profesi yang bermacam-macam, seperti konsultan, tenaga
kesehatan, tenaga ahli, tenaga pengajar, para pegawai serta karyawan dalam
berbagai kegiatan ekonomi dan sebagainya. Begitu pula dengan sektor perdagangan
dan perusahaan yang telah melebar pada
perdagangan valuta asing, saham, pasar modal, obligasi, sertifikat dan surat
berharga lainnya.
Menurut Didin,
yang diseratsinya telah dibukukan dengan judul Zakat dalam Perekonomian Modern(
Penerbit Gema Insani, 2002), di dalam menentukan sumber atau objek zakat atau
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Al-Quran dan hadis menggunakan dua
metode pendekatan. Yaitu, pendekatan tafsil ( teruarai ) dan pendekatan ijmal
(global).
Dengan pendekatan
tafsil, Al-Quran dan hadis Nabi menjelaskan secara rinci beberapa jenis
harta wajib zakat, yaitu pertanian ( tanaman dan buah-buahan ), peternakan,
emas dan perak, perdagangan, hasil tambang dan barang temuan.
Sedangkan
pendekatan ijmal ( global) dengan cara menyebutkan “ harta” dan “hasil
usaha” seperti tergambar dalam Al-Quran surah at-Taubah : 103 dan al-Baqarah:
267, sehingga dengan menggunakan qiyas ( analogi ) masalihul-mursalah dan prinsip-prinsip
umum ajaran Islam, dimungkinkan memasukkan
semua harta yang di zaman Nabi saw. Belum ada contohnya, tetapi dianggap “
harta yang bernilai” dalam perkembangan ekonomi modern. “ sehingga menjadi
harta wajib zakat,” ucap Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat
Nasional ini.
Didin memberikan beberapa
contoh sektor ekonomi modern potensial sebagai harta wajib zakat. Seperti zakat
profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata
uang zakat hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani,
zakat investasi property, zakat asuransi syariah, dan zakat sector-sektor
modern lainnya yang signifikan mempunyai nilai yang tinggi.
Termasuk di
dalamnya zakat usaha tanaman anggrek, burung
wallet, ikan hias, dan sektor rumah tangga modern sebagai sumber zakat. Di samping
karena nilai dan harganya yang sangat tinggi, juga untuk mengendalikan
penimbunan dan pembekuan harta produktif serta pengendalian pola hidup mewah dan konsumtif yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Sejalan dengan salah satu tujuan
dan hikmah zakat, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kaum fakir miskin
maupun asnaf lainnya. Maka sumber-sumber zakat yang bervariasi ini
diharapkan dapat meningkatkan jumlah penerimaan zakat.
Karenanya, saran Didin, upaya penggalian sumber
zakat harus terus menerus dilakukan.
Terutama oleh Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat. Kedua jenis lembaga ini, yang telah disahkan
keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlu melakukan kerja sama yang
saling menguntungkan agar hasil guna dan daya guna zakat dapat lebih
dioptimalkan. Amanah dan profesionalisme harus terus dilakukan oleh lembaga
pengelola zakat agar masyarakat semakin percaya kepada lembaga-lembaga
tersebut. Ryan Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !