Risalah
Dr. M.Busyro Muqaddas.SH.M.Hum
17 Agustus 1945, Ikrar Proklamasi kemerdekaan
disampaikan oleh Soekarno-Hatta setelah ratusan tahun negeri ini dijajah.Kedua
tokoh itu pula yang kemudian menjadi pemimpin di awal kemerdekaan sebagai
Presiden dan wakil presiden Indonesia yang pertama.Soekarno-Hatta
mengkonsolidasikan semua kekuatan dan gerakan untuk mendukung berdirinya
Pemerintahan Republik Indonesia.
Mereka membentuk panitia penyelidik persiapan
kemerdekaan, membangun hubungan dengan kelompok Islam dalam mencari konsep
kenegaraan yang diharapkan mampu mengakomodir berbagai kepentingan semua
penggagas kemerdekaan. Tokoh Islam seperti KI Bagus Hadi Kusumo,Wahid Hasim,
Kasman Singodimejo, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujono dan H. Agus
Salim bersama tokoh Nasionalis seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,Mohammad
Yamin, Dr.Rajiman Wediodiningrat duduk bersama dalam merumuskan konsep Negara.
Meski demikian, Soekarno sebagai tokoh
Nasionalis dan Muhammad Natsir sebagai tokoh Islam mempunyai banyak
perbedaan.Perbedaan ini berangkat dari ruh Nasionalisme dalam rangka mencari
bentuk Negara Indonesia setelah merdeka nanti.
Kemerdekaan yang diperoleh Bangsa Indonesia
belum mampu menjamin dua kubu, yaitu Nasionalis dan Islam berada dalam titik
kesepahaman.Kelompok pertama menghendaki keberadaan Pancasila sebagai dasar
Negara sekaligus perekat kesatuan Bangsa yang berdiri dari beragam suku dan
agama.
Sedangkan kelompok kedua menghendaki Islam
sebagai dasar Negara dengan pertimbangan agama mayoritas penduduk Indonesia,
dan mengembalikan enam kata dalam Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Yang
bertuliskan, “ (dengan) kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Enam kata dalam piagam Jakarta tersebut
membawa perdebatan di berbagai kalangan. Tokoh non Islam dan Indonesia Timur
mengancam akan meninggalkan Indonesia dan mendirikan Negara terpisah jika enam
kata itu tetap tercantum dalam pancasila.
Hingga akhirnya, kelompok Islam memilih jalur
tengah atau kompromi dengan melepaskan enam kata mengingat kepentingan yang
lebih besar. Mereka berharap Negara Islam berdiri melalui proses pemilihan
umum, mengingat mayoritas penduduk beragama Islam.
Namun, harapan itu gagal karena kelompok
Nasionalis dan Komunis menguasai hampir semua lini kehidupan pada masa orde
lama.Kelompok konservatif pada akhirnya melahirkan gerakan yang bertujuan
memperjuangkan konsepsi tentang Negara Islam yang dipimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo.
Kartosoewirjo mendirikan Darul Islam (DI)
yang memiliki nama lain Negara Islam Indonesia (NII). NII diproklamirkan
sebagai gerakan politik pada 07 Agustus 1949 di daerah Cisampah, Tasikmalaya,
Jawa Barat.
DI kian berkembang dan berharap mampu
mendirikan NII yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.Sekaligus
bertujuan menggulingkan pemerintahan Soekarno.Sayap pergerakan DI semakin
meluas dan mendapatkan simpati dari gerakan yang tidak puas atas pemerintahan
Soekarno.
Puncak era DI terjadi pada tahun 1957 dengan
susunan RM Kartosoewirjo sebagai Presiden dan Daud Beureauh sebagai wakil
presiden. Gerakan ini pun mendapatkan
dukungan dan bantuan dari Amerika berupa paket bantuan Militer jangka
pendek Dinas Intelijen Amerika (CIA) guna mendukung gerakan anti komunis di
Sumatera dan Sulawesi.
Memasuki tahun 1960, gerakan DI tidak
menunjukkan soliditas dan mulai terpecah belah.Dan pada tahun 1962 menjadi
akhir dari perjuangan Darul Islam.Dengan tertangkapnya Kartosoewirjo dalam
operasi Bratayudha melalui Batalyon Raider 328 di Gunung Geber Majalaya, Jawa
Barat.
Isu NII kembali hadir menjelang pemilu 1971
dengan dilatarbelakangi pembentukan Komando Jihad pada masa kepemimpinan
Soeharto.Demi kepentingan politik, agama dijadikan topeng demi mendapatkan
kekuasaan menduduki kursi presiden.
Menurut Busyro, dalam Disertasinya yang sudah
dibukukan bertajuk, “ Hegemoni Rezim Intelijen : Sisi gelap peradilan kasus
Komando Jihad.” Yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM)-
Universitas Islam Indonesia(UII), Jogjakarta, Juli 2011, terdapat skenario
yang kental sekali mengenai Komando Jihad. Hal ini dimulai dengan membuat isu
mengenai komunisme yang mengancam Indonesia sehingga diperlukan organisasi
Komando Jihad di mana isu ini didesain oleh Ali Moertopo.
Dalam proses penulisan, Busyro melakukan
serangkaian wawancara di berbagai tempat. Diantaranya, Palembang, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. “ Sisi gelap proses pembentukan dan
akrobat politik Komando Jihad telah banyak saya peroleh dengan mendalam dari
nara sumber yang sangat kompeten,” ungkap wakil ketua KPK ( Komisi
Pemberantasan Korupsi) ini.
Hasil penelitian pria kelahiranYogyakarta, 17
Juli 1952 ini menyatakan kesaksian tentang kisah dan sisi gelap peradilan kasus
komando jihad.“ Kualitas kesaksian mereka yang otentik menjadi kekuatan fakta
bagaimana sebuah operasi intelijen telah begitu jauh diselewengkan,” paparnya.
Peran rezim orde baru terhadap anak bangsa
(baca: kalangan Islam) sebagai mangsa dan komoditas politik melalui serangkaian
kriminalisasi. Serangkaian penangkapan dan proses pengadilan secara sistemik
dan terstruktur di gelar di berbagai daaerah. Dakwaannya seragam, membentuk
Jamaah Islam dan mendirikan Negara Islam Indonesia.Semua eksepsi terdakwa dan
pengacara selalu ditolak hakim.
Contohnya, kata Busyro, kasus almarhum Ishak,
aktivis Muhammadiyah cabang Ponorogo.Menurut pengakuan keluarganya, suatu saat
pak Ishak didatangi sejumlah tamu yang mengaku sebagai aktivis Komando Jihad.
Di jelaskan oleh sang tamu, bahwa komunisme baru akan masukke Indonesia dari
Vietnam. Dengan kelihaian bujukan tamu, tuan rumah menandatangani surat bai’at
sebagai pendukung Komando Jihad. Tak butuh waktu lama, setelah tamu pergi,
rombongan Koramil menjemput dan menahan Pak Ishak dengan tuduhan terlibat
Komando Jihad.“ sebuah tragedi kekuasaan atas nama Pancasila dan stabilitas
keamanan,” ucap Busyro.
Proses peradilan ini berujung dengan
dijatuhkannya vonis hukuman penjara hingga berujung hukuman mati dengan
eksekusi gelap tanpa memberitahu keluarga dan pihak pengacara.Pengadilan yang
jauh dari transparasi dan independensi.“ Jaksa penuntut mengaku bahwa tidak
dapat berbuat mandiri,karena mendapatkan tekanan aparat intelijen,” kata dosen
Fakultas Hukum, UII, ini.
Menurut dia, seluruh bagian dan proses
peradilan kasus Komando Jihad adalah gelap semata. Ratusan Muslim yang buta
politik dan beragama dalam keluguan telah dimangsa sendiri oleh aparat opsus
dan intelijen dari sebuah rezim anti demokrasi.Suatu rezim yang sejatinya telah
membuktikan kesempurnaan kezalimannya terhadap hak-hak asasi dan martabat
saudara sebangsanya sendiri.
Seharusnya, lanjut Busyro,proses peradilan
berdasarkan fakta obyektif dan jauh dari manipulasi. Sekiranya jaksa dan hakim
memiliki integritas, niscaya semua rangkaian fakta fiktif belaka itu berujung
dengan dibebaskannya seluruh terdakwa.
Menilik dan menggeledah kualitas putusan
hakim dalam kasus komando jihad yang cacat hukum dan melukai rasa keadilan dan
kemanusiaan itu.Perlu dikonstruksikan metode pembentukan putusan hakim yang
ideal.
“ Perlunya perubahan fundamental paradigma
hukum dalam tataran filsafat ilmu, filsafat hukum dan metodologi penemuan
hukum,” tutur Busyro.
“Bangsa ini memerlukan komunitas hakim yang
mampu mengkonstruksikan paradigma putusan hakim yang memiliki karakter
membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan hukum, ekonomi, sosial
dan politik,” tambahnya.
Busyro menyarankan pemerintah agar
membuktikan kejujuran dan ketulusannya untuk memposisikan institusi intelijen
kedalam sistem aturan yang transparan, terkontrol, independen dan
professional.“ Perlu batasan yang jelas mengenai wewenangnya demi keamanan
Negara,” tegas Dewan pendiri Pusham UII ini.
Dan bagi kalangan komunitas umat Islam, ujar
dia, perlu mempertegas kesalehannya sesuai karakter Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin kedalam kerangka pikir dan keberagamannya yang membawa
keteduhan, toleransi sosial dan kerjasama untuk kemanusiaan universal.
“ Umat Islam harus bersikap cermat dan matang
serta memperluas wacana Islam sebagai penyangga kerentanan pengaruh infiltrasi,
hegemoni dan profokasi atas nama agama dan mati syahid yang justru berujung
pada penistaan terhadap Islam,” ujarnya.
Biodata
Busyro Muqaddas lahir di Yogyakarta, 17 Juli
1952. Tahun 1977 ia merampungkan
studinya dan menyandang gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII). Dan melanjutkan Magister Hukum Universitas Gajah Mada (
1995).Pendidikan terakhirnya adalah S3 Hukum Universitas Islam Indonesia.
Busyro mengawali karir di bidang hukum pada
tahun 1983 sebagai Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UII.Ia juga
pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan (PUDEK) III dan Pudek I Fakultas Hukum
UII.
Pria yang akrab diapa Mas Bus ini pernah
menjadi ketua sekaligus merangkap anggota Komisi Yudisial RI periode
2005-2010.Ia juga menggantikan posisi Antasari Azhar sebagai ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan kini ia menjabat sebagai wakil ketua KPK.
Busyro memiliki pengalaman menangani kasus
diantaranya, gugatan atas kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam
penyerangan Koperasi Mahasiswa UGM ( 1997), advokasi atas kasus penahanan
tersangka pengeboman Candi Borobudur ( 1985), advokasi ats kasus Subversif
Komando Jihad dengan terdakwa Abdullah Umar (1984-1985) dan hingga sekarang
sering dimintai konsultasi atas kasus kasus struktural.
Pengabdian dan pengalamannya di dunia hukum membawa
seseorang menuliskan biografinya sebagai peyuara nurani keadilan.Ryan
Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !