Headlines News :
Home » » Ketika Hidup Lebih Bermakna

Ketika Hidup Lebih Bermakna

Written By Admin on Jumat, 17 Februari 2012 | 08.27


Hj Endang Setia Arini

Segudang rintangan menghadang saat Endang memeluk Islam. Seluruh keluarganya menentang keputusan tersebut. Bahkan kedua orangtuanya tidak mengakui Endang sebagai anak. Mampukah ia menjalani hidup?

Ada yang ‘aneh’ pada diri Endang Setia Arini. Ia merasakan ketenangan saat menyaksikan rekan-rekan sekosannya shalat. Padahal ia Nasrani. Tak hanya itu, Endang sering mengikuti kajian keislaman yang diadakan oleh teman-temannya. “Sejak bergaul dengan teman-teman yang beragama Islam, saya sudah terbiasa melihat mereka shalat. Bahkan, hati saya tenang ketika melihat mereka beribadah,” akunya kepada Majalah Gontor.

Dulu, ketika masih kuliah, Endang tinggal satu rumah dengan kawan-kawannya yang beragama Islam. Di rumah itu hanya Endang yang Nasrani. Meski berbeda agama, persahabatannya dengan rekan-rekannya tidak menjadi masalah. “Perbedaan agama bukan halangan untuk saling menghormati antarsesama,” ujarnya.


Endang mengagumi rekan-rekannya yang rajin shalat. Ia bandingkan dengan dirinya yang hanya seminggu sekali ‘beribadah’. Itu pun dilakukan suka-suka, karena merasa tidak ada kewajiban. Sedangkan rekan-rekannya melaksanakan shalat lima kali dalam sehari, belum lagi ditambah puasa satu bulan penuh.

Tidak cuma itu, seorang Muslim diwajibkan berwudhu sebelum melaksanakan shalat. Itu artinya setiap Muslim selalu menjaga kebersihan dirinya. “Ternyata Islam itu bersih dan indah. Sedangkan saya membersihkan muka hanya ketika mandi,” ungkap dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu.

Pada suatu malam, Endang melihat temannya memanjatkan doa kepada Allah SWT sampai mengucurkan air mata. Sang teman memohon agar ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit dapat sembuh. Hati Endang tersentuh saat menyaksikan keseriusan temannya dalam berdoa. Akhirnya ia memutuskan memeluk agama Islam dan meninggalkan segala kekafiran. Saat paling indah dalam hidupnya itu terjadi pada Ramadhan tahun 1994. “Saya masuk Islam tanpa ada paksaan dari siapa pun. Saya ikhlas mengenakan jilbab dan meninggalkan semua pakaian kafir saya,” kenang perempuan kelahiran Lampung itu.

Segudang rintangan menghadang saat Endang memeluk Islam. Seluruh keluarganya menentang keputusan tersebut. Bahkan kedua orangtuanya tidak mengakui Endang sebagai anak. Maka putuslah aliran kasih sayang dan finansial dari orangtua. Padahal, ketika itu ia sedang menempuh studi semester 4 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Namun itu semua tidak membuat Endang surut langkah.

Ia bertekad untuk membuktikan kepada kedua orangtuanya bahwa ia bisa menjalani hidup walau tanpa bantuan orangtua. “Awalnya saya merasa bersalah kepada orangtua, tapi setelah berdiskusi dengan ustad, saya mendapat pencerahan dan makin yakin bahwa keputusan memeluk agama Islam adalah jalan yang terbaik,” paparnya.

Endang merasa hidupnya lebih bermakna setelah beragama Islam. ”Buat saya, agama bukan hanya keyakinan, tapi juga pengarah kehidupan seseorang, dan itu saya temukan dalam Islam,” tegas Endang.

Kini ia rutin mengikuti pengajian di Masjid Muhtadin, tempat ia pertama kali mengucapkan dua kalimat 
syahadat. Di masjid inilah para muallaf  dibimbing keislamannya. Di tempat suci ini pula Endang menemukan pasangan hidupnya.  

Endang menikah di usia relatif muda. Ia menikah dengan lelaki Muslim yang selalu membimbingnya ke arah kehidupan lebih baik. Saat menikah, keduanya masih duduk di bangku kuliah.
Selain ibadah wajib, Endang belajar menjalani ibadah sunnah sedikit demi sedikit. Ia mulai puasa Senin Kamis, shalat tahajud, dan melaksanakan puasa Daud bersama sang suami.

Endang kini melalui hari-harinya dengan penuh rasa syukur kepada Allah. Ia kerap menemukan kemudahan dan kejutan dalam hidup. Mulai dari kelulusannya di UGM, bisa mendirikan rumah, hingga berangkat haji bersama suami tanpa mengetahui siapa yang membiayai keberangkatannya. “Saya tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci. Di tempat ini saya benar-benar merasakan kebesaran Allah,” ujarnya.n febrianti
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

'Quote'

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah"
- Pramoedya Ananta Toer-

" Pensil yang tumpul lebih baik dari ingatan yang tajam"
- Kaelany HD -

" Wa Laa Tamutunna Illa wa antum Kaatibuun "
- Prof.Ali Yaqub -




 
Support : Ekonomi Islam | Yans Doank | Murabahah Center
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ryan's Blog - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Yans Doank