Arisan mungkin
sudah menjadi budaya yang membumi di Indonesia. Budaya itu bisa diaplikasikan
dalam bentuk wakaf yang paling sederhana, yakni wakaf tunai seribu rupiah per
hari.
Di Indonesia,
wakaf masih populer sebatas pada harta tak bergerak berupa tanah dan bangunan.
Sehingga, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa hanya orang kaya dan tuan
tanah saja yang mampu mengeluarkan harta untuk berwakaf.
Namun, persepsi
itu mulai bergeser. Ternyata, wakaf bisa menggunakan uang (waqf an-nuqud) atau
yang lebih dikenal dengan sebutan wakaf tunai. Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan
berbagai institusi syariah lainnya pun mulai gencar melakukan sosialisasi, baik
melalui seminar-seminar, media cetak, maupun media elektronik.
Secara historis,
wakaf uang sudah dipraktikkan sejak abad kedua Hijriyah. Mazhab Hanafi, Maliki,
dan Syafi’i pun membolehkan wakaf dalam bentuk tunai. Bahkan, wakaf tunai telah
berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Saat ini, wakaf
tunai telah diterima di Turki, Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura, dan
banyak negara lainnya.
Pada tahun 2001,
Prof. M.A Manan, ketua Social Investment Bank Ltd (SIBL)
Bangladesh, memberikan seminar wakaf uang di Indonesia. Wacana wakaf uang ini
pun mendapat respons positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kemudian pada
tanggal 11 Mei 2002, MUI mengeluarkan fatwa tentang kebolehan wakaf uang,
dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.
Secara legal
formal, wakaf tunai telah diatur dalam UU No. 41 tahun 2004. Dan disusul dengan
PP No. 42 tahun 2006, tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004. Di samping itu,
Departemen Agama juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama RI No. 4 tahun
2009, tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang.
Tidak hanya itu,
Presiden RI mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang pada tanggal 8 Januari
2010 di Istana Negara. SBY menyampaikan, “Ini merupakan terobosan baru
sekaligus tafsir yang amat luas mengenai wakaf. Dengan digulirkannya wakaf
dalam bentuk uang, akan semakin banyak umat Islam yang dapat menunaikan
wakafnya.”
Menurut Hendra
Khalid, pendiri KAWAFI (Komunitas Wakaf Indonesia), wakaf tunai lebih menjurus
kepada wakaf produktif. Contohnya, sekarang sedang dibangun perumahan untuk
kaum dhuafa di atas tanah wakaf, tapi bangunannya berdiri dari uang wakaf.
“Wakaf itu diinvestasikan dan hasilnya disalurkan,” tegasnya.
Untuk memopulerkan
wakaf tunai, KAWAFI pun menggagas gerakan wakaf uang seribu rupiah per hari.
Dengan tujuan, menggerakkan kesadaran masyarakat untuk berwakaf. “Kita mulai
dari hal yang kecil dan mudah dilakukan setiap orang, untuk mendapatkan manfaat
yang besar, yaitu salah satunya dengan wakaf uang seribu rupiah per hari,”
tutur Hendra.
Saat ini,
jumlah Muslim di Indonesia adalah sebesar 203 juta jiwa. Bak sebuah arisan,
kalau 10 persennya atau 20,3 juta orang berwakaf Rp 1.000,- setiap hari,
berarti terkumpul dana Rp 20,3 miliar per hari. Dalam setahun, akan terhimpun
sekitar Rp 7,3 triliun. Sebuah kekuatan ekonomi yang luar biasa.
Dengan demikian,
wakaf tunai seribu rupiah per hari bisa diproyeksikan sebagai sarana rekayasa
sosial (social engineering), yaitu dengan melakukan perubahan pemikiran,
pemahaman, sikap, dan perilaku umat Islam di Indonesia. Dan tidak jauh berbeda
dengan arisan, wakaf tunai insya Allah akan membudaya di Indonesia./Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !