Sinergi Pemberdayaan Umat Melalui Zakat
Menurut hukum Pareto, 80 persen kekayaan di dunia ini dikuasai oleh 20 persen manusia. Sisanya, 20 persen kekayaan di dunia ini dinikmati oleh 80 persen manusia. Tidak adil memang. Bagaimana Islam mengaturnya?
Hukum Pareto yang digagas oleh Vilfredo Pareto, seorang ekonom Italia, tampak begitu nyata di Indonesia. Ketika sebagian orang mengidap obesitas atau kelebihan berat badan karena kebanyakan makan, justru tetangganya miskin kelaparan. Lebih parah lagi, ada yang meninggal dalam antrean pembagian sembako pun dianggap biasa saja.
Sebenarnya, Islam telah mengatur tentang harta kepemilikan dengan jelas. Karena pada dasarnya, harta merupakan titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, ada konsep zakat dalam Islam. Dalam artian, ada hak orang lain pada harta yang dititipkan kepada kita.
Secara etimologi, zakat berarti menyucikan (at-Tathhir) atau tumbuh, berkembang, kesuburan, dan bertambah (an-Nama’). Dengan kata lain, zakat merupakan kotoran yang ada dalam diri kita. Dengan mengeluarkannya, maka kita akan menjadi suci. Sebaliknya, ketika zakat itu berada di tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq), ia merupakan tambahan yang akan mengurangi kesulitan hidup mereka.
Bahkan, kalau dikelola dengan baik, ia akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah amal usaha. Atau lebih dikenal dengan istilah “zakat produktif”. Ibaratnya, memberi kail bukan memberi ikan. Untuk itu, banyak lembaga amil zakat berdiri di Indonesia. Namun hingga kini, dana yang terkumpul jauh di bawah target yang seharusnya dicapai.
Menanggapi hal itu, Djoko Suyogoro, staf dokumentasi Dompet Dhuafa Republika menyatakan, pengaruh zakat bagi masyarakat memang sulit dilihat secara kasat mata. Karena, dana zakat yang dapat dihimpun sangat tidak sebanding dengan populasi masyarakat miskin di Indonesia.
Di samping itu, masih banyak muzakki yang belum sadar. Secara faktual, 80 persen dana zakat berasal dari Jabodetabek. Karena Jakarta memang gudangnya uang. Jika dana zakat hanya berkutat di Jakarta, bagaimana nasib saudara-saudara kita di daerah. “Padahal kemiskinan lebih banyak di daerah” tegasnya.
Di sisi lain, Dyana Widiastuti, Head Deptertment Marketing Communication Rumah Zakat menyatakan, bahwa penyaluran zakat saat ini sudah optimal. Rumah zakat menerapkan penyaluran zakat berbasis komunitas melalui ICD (Integrated Community Development) dalam program merangkai senyum Indonesia. Yaitu, senyum juara, senyum sehat, dan senyum mandiri. “Mengembangkan zakat melalui program-program pemberdayaan berbasis komunitas lebih terukur dan terorganisir.” ujarnya.
Sementara itu, Dompet Dhuafa menyalurkan zakatnya melalui jejaring-jejaring yang tersebar di seluruh Indonesia. Seperti LKC (Layanan Kesehatan Cuma-cuma) untuk program kesehatan masyarakat dhuafa dan LPI (Lembaga Pengembangan Insani) untuk program meningkatkan kualitas pendidikan.
Untuk pengembangan ekonomi masyarakat, Dompet Dhuafa membuat program masyarakat mandiri bekerja sama dengan desa-desa. Seperti kampung ternak, tahu iwul, dan budi daya jamur tiram. Caranya, memberikan permodalan, pembinaan, dan penyuluhan kepada masyarakat setempat.
Gerakan “zakat produktif” memang sudah banyak di Indonesia. Ke depan, harus ada sinergi antar lembaga amil zakat dan dibuat tanggung jawab masing-masing kawasan. Dengan begitu, penyaluran zakat bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin. Pada akhirnya, tujuan zakat sebagai pengentas kemiskinan pun bisa menjadi kenyataan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !