Hj Endang Setia
Arini
Segudang
rintangan menghadang saat Endang memeluk Islam. Seluruh keluarganya menentang
keputusan tersebut. Bahkan kedua orangtuanya tidak mengakui Endang sebagai
anak. Mampukah ia menjalani hidup?
Ada yang ‘aneh’
pada diri Endang Setia Arini. Ia merasakan ketenangan saat menyaksikan
rekan-rekan sekosannya shalat. Padahal ia Nasrani. Tak hanya itu, Endang sering
mengikuti kajian keislaman yang diadakan oleh teman-temannya. “Sejak bergaul
dengan teman-teman yang beragama Islam, saya sudah terbiasa melihat mereka
shalat. Bahkan, hati saya tenang ketika melihat mereka beribadah,” akunya
kepada Majalah Gontor.
Dulu, ketika
masih kuliah, Endang tinggal satu rumah dengan kawan-kawannya yang beragama
Islam. Di rumah itu hanya Endang yang Nasrani. Meski berbeda agama,
persahabatannya dengan rekan-rekannya tidak menjadi masalah. “Perbedaan agama
bukan halangan untuk saling menghormati antarsesama,” ujarnya.
Endang
mengagumi rekan-rekannya yang rajin shalat. Ia bandingkan dengan dirinya yang
hanya seminggu sekali ‘beribadah’. Itu pun dilakukan suka-suka, karena merasa
tidak ada kewajiban. Sedangkan rekan-rekannya melaksanakan shalat lima kali
dalam sehari, belum lagi ditambah puasa satu bulan penuh.
Tidak cuma itu,
seorang Muslim diwajibkan berwudhu sebelum melaksanakan shalat. Itu artinya
setiap Muslim selalu menjaga kebersihan dirinya. “Ternyata Islam itu bersih dan
indah. Sedangkan saya membersihkan muka hanya ketika mandi,” ungkap dosen
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu.
Pada suatu
malam, Endang melihat temannya memanjatkan doa kepada Allah SWT sampai
mengucurkan air mata. Sang teman memohon agar ayahnya yang sedang terbaring di
rumah sakit dapat sembuh. Hati Endang tersentuh saat menyaksikan keseriusan
temannya dalam berdoa. Akhirnya ia memutuskan memeluk agama Islam dan
meninggalkan segala kekafiran. Saat paling indah dalam hidupnya itu terjadi
pada Ramadhan tahun 1994. “Saya masuk Islam tanpa ada paksaan dari siapa pun.
Saya ikhlas mengenakan jilbab dan meninggalkan semua pakaian kafir saya,”
kenang perempuan kelahiran Lampung itu.
Segudang
rintangan menghadang saat Endang memeluk Islam. Seluruh keluarganya menentang
keputusan tersebut. Bahkan kedua orangtuanya tidak mengakui Endang sebagai anak.
Maka putuslah aliran kasih sayang dan finansial dari orangtua. Padahal, ketika
itu ia sedang menempuh studi semester 4 di Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta. Namun itu semua tidak membuat Endang surut langkah.
Ia bertekad
untuk membuktikan kepada kedua orangtuanya bahwa ia bisa menjalani hidup walau
tanpa bantuan orangtua. “Awalnya saya merasa bersalah kepada orangtua, tapi
setelah berdiskusi dengan ustad, saya mendapat pencerahan dan makin yakin bahwa
keputusan memeluk agama Islam adalah jalan yang terbaik,” paparnya.
Endang merasa
hidupnya lebih bermakna setelah beragama Islam. ”Buat saya, agama bukan hanya
keyakinan, tapi juga pengarah kehidupan seseorang, dan itu saya temukan dalam
Islam,” tegas Endang.
Kini ia rutin
mengikuti pengajian di Masjid Muhtadin, tempat ia pertama kali mengucapkan dua
kalimat
syahadat. Di masjid inilah para muallaf dibimbing
keislamannya. Di tempat suci ini pula Endang menemukan pasangan hidupnya.
Endang menikah
di usia relatif muda. Ia menikah dengan lelaki Muslim yang selalu membimbingnya
ke arah kehidupan lebih baik. Saat menikah, keduanya masih duduk di bangku
kuliah.
Selain ibadah
wajib, Endang belajar menjalani ibadah sunnah sedikit demi sedikit. Ia mulai
puasa Senin Kamis, shalat tahajud, dan melaksanakan puasa Daud bersama sang
suami.
Endang kini
melalui hari-harinya dengan penuh rasa syukur kepada Allah. Ia kerap menemukan
kemudahan dan kejutan dalam hidup. Mulai dari kelulusannya di UGM, bisa
mendirikan rumah, hingga berangkat haji bersama suami tanpa mengetahui siapa
yang membiayai keberangkatannya. “Saya tidak menyangka bisa menginjakkan kaki
di Tanah Suci. Di tempat ini saya benar-benar merasakan kebesaran Allah,”
ujarnya.n febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !