Headlines News :
Home » » Dari Mushalla Temukan Cahaya Kebahagiaan

Dari Mushalla Temukan Cahaya Kebahagiaan

Written By Admin on Rabu, 20 Juni 2012 | 08.20


Edy Hermanto

“ Terbiasa mengikuti pengajian di Mushalla dengan teman-teman Muslimnya. Mendorong hati Edy Hermanto (48) untuk memeluk Islam di saat umurnya yang masih belia. Ia pun turut mengajak Ibunya  ke jalan yang benar.”

“ Habis gelap terbitlah terang, saya bagai keluar dari kegelapan menuju tempat yang sangat terang benderang,” ucap syukur Edy ketika hatinya mantap memeluk Islam di saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pria asal Tionghoa ini sejak umur satu tahun hanya tinggal bersama ibunya, sang ayah pergi meninggalkan mereka. “ Bahkan, sampai sekarang saya tidak tahu nama Indonesia Ayah,” akunya kepada wartawan majalah Gontor saat ditemui di kediamannya.

Edy kecil senang bergaul dengan teman-teman Muslim dan mengikuti pengajian di Mushalla bersama teman-temannya, walaupun posisinya saat itu bukan lah seorang Muslim. Padahal, dewasa ini menyuruh anak-anak seusianya mengaji sangat lah sulit.

Entah apa yang melangkahkan kakinya pergi mengaji setiap ba’da magrib di Mushalla dekat rumahnya.  Namun, hatinya senang dapat berkumpul dan mengikuti pengajian itu.  Kegiatan  ini pun rutin ia lakukan.

Tak sedikit  temannya yang mengejek bahkan mengusirnya dari Mushalla, kakek dan neneknya juga tidak setuju dan melarangnya mengaji. Tapi  hatinya tidak pernah runtuh untuk tetap berada di perkumpulan itu. Sang ustad pun tidak pernah melarangnya “ Pak Ustad justru senang mengajari saya mengaji,” ungkap ayah beranak tiga ini.

 Sebelum memutuskan menjadi seorang Muslim  ia mengaku tidak pernah mengenal agama, walaupun sesekali ia pernah  dibawa ke tempat-tempat peribadatan. Hatinya tidak pernah cocok berada di sana, berbeda ketika ia mengaji di Mushalla. “ Hati saya rasanya nyaman dan tenang mengaji di Mushalla,” kenang Edy.

Sejak kecil, sambung Edy, selain senang mengaji ia pun turut berpuasa di Bulan Ramadhan  hingga  khatam satu bulan penuh. Tak ketinggalan, ia ikut merayakan hari kemenangan umat Islam, hari  raya Idul Fitri. “ Sedangkan hari besar  Tionghoa saya enggan melaksanakannya,” ujar anak semata wayang ini.

Memang aneh perilaku Edy, di saat anak-anak seumurannya bersenang-senang menjalani hidup, sebaliknya ia mencari penerangan hatinya. Ada  sesuatu yang mengganjal hatinya, “ Mau dibawa kemana arah hidup ini,” pikirnya.  Bukan kah tidak wajar anak sekolah dasar berpikir layaknya orang dewasa. 

Namun hidayah Allah tidak pernah memandang umur bagi siapa pun yang dikehendaki Nya. Di umur yang masih belia, menginjak empat belas tahun, Edy memantapkan hati dan pikirannya untuk berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang Muslim tanpa diketahui keluarganya.

Berdoa untuk Ibu
Menurut Edy, setelah berikrar hilang semua perasaan yang mengganjal hatinya selama ini. Bak menemukan sebuah cahaya di tengah kegelapan.  Dan saat itu juga ia memberanikan diri mengakui kemuslimannya kepada ibu dan keluarganya.

Meskipun awalnya ditentang, namun perlahan-lahan sang Ibu menerima kehidupan baru anak semata wayangnya itu. Ibunya  bahkan sempat berpesan, “ Jika memang ini pilihanmu, jalanilah ajaran-ajarannya dengan benar.”  “ Saya jadi malu mendengar pesan Ibu, karena belum bisa jadi Muslim sejati,” ujar suami Maisaroh ini.

Tak ada hal lain yang dicari Edy selain ridho Illahi, ia sangat gigih mempelajari Islam serta menjalankan ibadah dengan begitu semangatnya. Dibimbing oleh kedua orangtua angkatnya (Pak Sadi dan Bu Sanol) dan ustad-ustad di pengajian yang selalu setia mengajarinya. “ Walaupun saya bukan anak pesantren, saya belajar Islam dari ustad-ustad di Mushalla,” ucapnya sambil tersenyum.

Diam-diam, di lubuk hati Edy yang paling dalam ia sangat ingin ibunya  berkeyakinan sama sepertinya. Pernah ia mencoba mengajak sang Ibu untuk memeluk Islam, namun usahanya sia-sia. “ Ibu menolak keras masuk Islam,” ungkap pemilik mata sipit ini.

Tak ada yang bisa Edy lakukan, hanya doa yang selalu ia latunkan agar Allah mau membuka hati orang tua satu-satunya itu. Di usia  yang semakin tua sang Ibu sering sakit-sakitan, lagi-lagi Edy membujuk ibunya agar mau memeluk Islam.

Hingga akhirnya tiga hari menjelang Ramadhan, sebelum meninggal dunia Ibunya bersyahadat dihadapannya. “ Alhamdulillah, saya tenang melepas kepergian Ibu,” paparnya. Ryan Febrianti

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

'Quote'

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah"
- Pramoedya Ananta Toer-

" Pensil yang tumpul lebih baik dari ingatan yang tajam"
- Kaelany HD -

" Wa Laa Tamutunna Illa wa antum Kaatibuun "
- Prof.Ali Yaqub -




 
Support : Ekonomi Islam | Yans Doank | Murabahah Center
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ryan's Blog - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Yans Doank