“
Uang kertas yang dipuja-puja kebanyakan orang saat ini, ternyata tidak memiliki
nilai sebanding dengan angka yang tertera di atas lembaran kertas itu. Itu lah
sebabnya mengapa dunia mengalami krisis moneter berkepanjangan. Maka, sudah
saatnya kembali ke nilai mata uang sesungguhnya.”
“
Jauh sebelum Islam datang, semua orang memakai din ar dirham sebagai alat
tukar,” ungkap Abdarrahman Rahadi, Wakil direktur Wakala Induk Nusantara
(WIN). Uang kertas merupakan evolusi
dari kwitansi dimana dahulu kala banyak orang yang menitipkan koin emasnya di
tempat penitipan emas dan diganti dengan sebuah kwitansi. “ kwitansi halal
sebagai bukti, namun tidak halal menjadi alat tukar,” jelasnya.
Rahadi menceritakan,
sampai tahun 1971 pencetakan mata uang kertas masih di back up oleh dinar
(emas) sesuai dengan perjanjian Bretton Wood yang disepakati pada tahun 1944.
Namun, di tahun yang sama presiden Amerika Serikat,Nixon, membatalkan
perjanjian tersebut.
Sejak
batalnya perjanjian tersebut, mata uang kertas dicetak tanpa back up emas.
Sehingga mata uang yang berlaku di seluruh dunia bersifat fiat dan disebut dengan istilah managed
money standard. Hingga kini yang berlaku bahkan bukan uang kertas lagi, tapi
angka, dengan menggunakan kartu debit dan kartu kredit. “ kalau sekarang kita
ramai-ramai ke bank, pasti akan terjadi rush, karena uang sesungguhnya
tidak ada di bank,”ujar Rahadi.
Uang harus
berupa barang, lanjut dia, tapi tidak semua barang bisa jadi uang, hanya yang
bernilai dan bisa ditimbang. “ Selama ini kita telah dibodohi oleh uang kertas,
padahal biaya mencetak uang kertas tidak lebih dari 500 rupiah ” tandasnya.
Hal
senada dikatakan Luthfi Hamidi,MA, dalam bukunya Gold Dinar, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi
moneter Internasional itu telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru
dan salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia.
Melalui
mata uang kertas, sambungnya, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan
melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas
lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah. “
contohnya dollar yang mendunia,” Kata Luthfi.
Lalu,
bagaimana caranya mengembalikan dinar dirham yang hilang ? jawabannya Taqwa,
sambut Rahadi. Dan pertama kali yang harus dilakukan adalah meninggalkan riba.
“ itu artinya kita harus meninggalkan uang kertas, karena setiap lembarannya
mengandung riba,” ucapnya.
Dan
yang lebih penting dari dinar dirham bukan karena dia emas, anti inflasi dan
barang yang bernilai. Tetapi, tanpa adanya dinar dirham tidak ada zakat dan
tidak ada Islam. Pasalnya, zakat hanya boleh diukur dengan dinar dirham atau
emas.
Cara yang paling tepat menjadikan dinar dirham
sebagai alat transaksi, kata Rahadi, sadarkan diri sendiri menggunakan dinar
dirham dari sekarang. “ Jika belanja di pasar bayar pakai dirham, sebaliknya
jika berdagang minta bayarannya gunakan dinar atau dirham,” imbuhnya.
Sementara
itu, Agustianto Mingka, Presiden Direktur Iqtishad Consulting, manyampaikan
lewat tulisannya kembali ke dinar, Berdasarkan kajian ilmiah dan fakta empiris,
dapat disimpulkan bahwa mata uang dinar adalah mata uang terbaik.
Dengan
kemampuannya menjaga nilainya sendiri maka Dinar Emas mempunyai
keunggulan sebagai alat tukar terbaik yang dapat meredam terjadinya spekulasi,
manipulasi dan menekan inflasi secara signifikan. “ Sehingga dapat
dijadikan sebagai instrumen stabilitas moneter yang ampuh,” paparnya.
Rahadi mengajak seluruh umat manusia agar kembali
transaksi menggunakan mata uang sesungguhnya.
Ia mengutip sebuah hadis, akan tiba zaman dimana semua mata uang tidak berlaku kecuali dinar
dan dirham. “ Dinar dan dirham bukti cinta Allah dan kasih sayang Nabi,”
ujarnya. Ryan Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !