Konon, hanya ada dua kekuatan yang
mampu mempengaruhi manusia, yaitu uang dan ilmu. Uang memang bukan segalanya.
Tapi tanpa uang, kini kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Uang sering kali menjadi kambing hitam
cekcok dalam rumah tangga. Sangat banyak kasus perceraian terjadi, karena
dipicu oleh masalah keuangan. Entah sang istri ngambek, karena tidak
mendapat jatah uang belanja sampai ambang batas kesabarannya. Atau mereka yang
berlebih secara finansial, tapi bersilang pendapat dalam penggunaannya.
Kalau memang demikian, pokok
permasalahannya berarti bukan pada uangnya, tapi lebih pada manajemen
keuangannya. Rasulullah SAW pernah mengingatkan, “Kekayaan yang hakiki
bukanlah dengan banyaknya harta. Namun, kekayaan yang hakiki adalah hati yang
selalu merasa cukup.” (Muttafaq ‘alaih)
Memang, manusia tak pernah merasa puas
dengan apa yang mereka miliki. Tapi, terkadang seseorang baru merasa aman pada
titik tertentu. Misalnya, dia akan merasa aman, kalau pemasukannya mencapai Rp
3 juta setiap bulan.
Oleh karena itu, kecerdasan finansial
sangat dibutuhkan dalam sebuah keluarga, agar tidak terjadi lebih besar pasak
daripada tiang. Solusinya, mensyukuri berapa pun penghasilan yang didapat dalam
sebulan, dan terus berusaha sampai pada titik ia merasa aman. Untung-untung
kalau bisa berinvestasi. Dengan demikian, ia akan merasa cukup.
Menurut Joannes Widjayanto, seorang financial
planner, perencanaan keuangan pribadi atau keluarga itu sangat diperlukan.
Tidak ada pengelolaan keuangan yang baik, tanpa perencanaan keuangan yang baik.
Tanpa arah dan tujuan yang jelas, kita cenderung memboroskan uang yang kita
peroleh dengan susah payah.
Sementara itu, Husein Syahatan dalam
bukunya Ekonomi Rumah Tangga Muslim menyatakan bahwa pengaturan keuangan
seseorang harus seimbang. Dalam artian, tidak menghabiskan seluruh yang
didapatkan dalam semalam.
Untuk menciptakan keseimbangan itu,
Husein mengklasifikasikan kebutuhan rumah tangga menjadi tiga tingkat, yaitu
primer, sekunder, dan tersier. Setiap pengeluaran keuangan, harus disandarkan
pada tingkat kebutuhan itu. Misalnya, mengutamakan kebutuhan primer
sehari-hari, seperti uang belanja, biaya listrik, telepon dan air, dan biaya
sekolah anak.
Namun dewasa ini, masih banyak pasangan
suami-istri yang belum sadar akan pentingnya perencanaan keuangan keluarga.
Terlebih pasangan yang belum dikaruniai anak. Mereka merasa belum mempunyai
tanggungan, dan hanya berpikir untuk makan serta kebutuhan pribadinya
masing-masing.
Idealnya, perencanaan keuangan keluarga
harus dibicarakan sejak kali pertama sebuah pasangan bersatu dalam ikatan suci.
Mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari, piknik keluarga, hingga persiapan masa
depan anak. Sehingga, ketika si kecil lahir, persiapan untuk masa depannya
sudah terpenuhi.
Ada beberapa tahapan dalam perencanaan
keuangan keluarga. Pertama, ketahuilah situasi keuangan sekarang,
kemudian rincilah kebutuhan keluarga, dan membuat skala prioritas. Dengan
begitu, kita mampu meminimalisir biaya yang tak terlalu penting dalam rumah
tangga.
Kedua,
menentukan tujuan keuangan. Misalnya, untuk naik haji, atau menyekolahkan anak
di sekolah yang bergengsi. Ketiga, menabung atau berinvestasi. Karena
menabung merupakan konsumsi yang tertunda.
Jika perencanaan ini bisa diterapkan
dengan baik, maka kebutuhan keluarga akan lebih mudah untuk dikendalikan.
Paling tidak, perkawinan Anda tidak akan runtuh hanya karena masalah keuangan./Febrianti
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !