Oleh : Dr. Wendi Zarman
“ Di dalam Islam tidak ada satu hal pun kehidupan manusia yang terlepas dari urusan agama, tidak terkecuali sains. Dengan mempelajari alam semesta dapat mengenal Penciptanya. Namun faktanya, buku teks IPA sama sekali tidak mengarahkan siswa untuk mengenal Tuhannya. Untuk itu, Dr. Wendi Zarman ingin mengislamkan sains lewat penelitiannya ini.”
‘Ketuhanan yang Mahaesa’ begitu bunyi sila pertama dalam Pancasila. Ini bermakna semua sila di dalam Pancasila dijiwai dan berlandaskan kepada sila pertama tersebut. Sila pertama ini pada dasarnya merefleksikan suatu konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia, yaitu manusia yang berketuhanan yang Mahaesa.
Untuk itu, nilai-nilai ketuhanan dan agama akan selalu menjadi dasar dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih lagi dalam bidang pendidikan. Dan tujuan pendidikan di Indonesia adalah menghasilkan manusia yang beriman kepada Tuhan yang Mahaesa.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Di dalam Islam, keimanan kepada Allah merupakan akidah terpenting dan menjadi landasan dari seluruh perilaku seorang Muslim. Setiap perilaku Muslim yang tidak didasari keimanan, sekalipun perbuatan baik, menjadi tidak bernilai di sisi Allah swt.
Dan untuk menanamkan nilai-nilai keimanan yang menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia, maka semua proses belajar haruslah dilandasi oleh tujuan ini. Apalagi isu pendidikan karakter sedang digalakkan pemerintah, tentu karakter tidak lepas dari keimanan.
Namun sayang, pendidikan di Indonesia nampaknya lebih berkiblat ke Barat, khususnya pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Sains. Pasalnya, Negara barat dianggap Negara maju dalam pengembangan sains dan teknologi. Hal ini tampak jelas dari kandungan buku pelajaran wajib sebagai buku pegangan sekolah.
Di dalam buku sains tersebut hampir semua konsep yang dikemukakan merupakan hasil dari karya atau penemuan para sarjana Barat. Dalam ranah ilmu fisika, misalnya, buku-buku sains kita dipenuhi oleh teori-teori dari ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snellius, Maxwell, Pascall, Celcius, Boyle, Kirchoff, de-Broglie, Einstein, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada mata pelajaran sains alam lainnya seperti biologi, kimia, dan astronomi.
Karena sains di Barat dikembangkan berbasis pandangan hidup sekuler sedangkan Indonesia banyak meniru model pengajaran di Barat, maka pola pengajaran sains yang merefleksikan nilai-nilai sekularistik sedikit banyaknya juga turut mewarnai pembelajaran IPA di Indonesia. Hal ini karena pengajaran dan penanaman nilai merupakan dua hal yang tidak mungkin dipisahkan.
Padahal Barat menganggap bahwa agama adalah dogma dan dikeluarkan dari ranah ilmu. Sehingga sains dan agama dipandang sebagai dua kutub yang terpisah dan tidak bisa disatukan dengan cara apapun.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme, Pemisahan ilmu, yang dalam konteks ini adalah ilmu sains dengan agama disebut sebagai sekularisasi. Sekularisasi di sini bermakna pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya.
Memandang sains dalam kacamata sekuler merupakan suatu pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebab Islam bukanlah agama yang mengatur urusan ibadah saja, namun merupakan sebuah jalan hidup yang lengkap dan sempurna, bahkan sebuah peradaban yang integral dan menyeluruh dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, di dalam Islam tidak ada satu hal pun kehidupan manusia yang terlepas dari urusan agama, tidak terkecuali sains. Kesatuan agama dan sains ini terejawantahkan dalam ajaran-ajaran Islam baik di dalam al-Qur’an, Hadits, serta pandangan para ulamanya.
Muhammad ‘Ali al-Juzu, sebagaimana dikutip Zarkasy, mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an penggunaan akal atau berpikir (yatafakkar) dan berzikir (yadzkuru) harus dilakukan bersama-sama. An-Nabulsi menyebutkan bahwa terdapat sekurangnya 1300 ayat, atau sekitar seperlima dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam semesta.
Sementara itu menurut perhitungan Purwanto sekurangnya terdapat 1.108 ayat di al-Qur’an yang dikategorikan sebagai ayat kauniyyah (ayat tentang alam).An-Najjar menyebutkan tidak kurang 750 ayat di dalam al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempelajari alam semesta karena dengan cara itu ia dapat mengenal Penciptanya, di samping memanfaatkannya untuk keperluan hidup.
Itu sebabnya istilah kitab bukan hanya disematkan kepada al-Quran tetapi juga kepada alam semesta. Bila al-Qur’an dikenal dengan sebutan Kitab Yang Diturunkan, maka alam disebut sebagai Kitab Ciptaan. Zaidi, mengutip istilah Ibn ‘Arabi, menyebutkan al-Qur’an sebagai Kitab Kecil, sedangkan alam semesta disebut Kitab Besar. Sedangkan menurut alam merupakan sarana manusia untuk mengetahui Tuhan.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa terdapat perbedaan mendasar antara cara pandang Islam dan Barat dalam memandang sains. Barat memandang sains menggunakan paradigma sekuler dan memisahkannya dengan kesadaran beragama manusia, sedangkan Islam memandangnya dengan paradigma religius. Perbedaan ini dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan konsep, tujuan, nilai, dan makna sains di antara kedua pandangan hidup ini.
Dalam kaitannya dengan pengajaran IPA di sekolah, menurut hasil penelitian Dr Wendi Zarman dalam disertasinya yang bertajuk “ Studi Pengembangan Buku Teks Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Menengah Pertama Berbasis Nilai Keimanan Kepada Allah” tidak memiliki unsur penanaman nilai-nilai keimanan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Untuk itu, papar Wendi, buku Mari Belajar Ilmu Alam Semesta 3, buku wajib IPA untuk SMP, perlu dikembangkan lagi sehingga di dalamnya terkandung aspek penanaman nilai – nilai keimanan. “ Seperti falsafah Negara Pancasila,” ujarnya.
Melalui hasil penelitiannya ini, Wendi menawarkan tujuh langkah upaya menanamkan nilai keimanan ke dalam buku teks IPA. Pertama, memberikan pengantar yang berisi nasihat-nasihat Islami. Kedua, menyisipkan ungkapan kemahakuasaan Allah. Ketiga, mengungkapkan hikmah penciptaan alam yang menumbuhkan rasa syukur. Keempat, mengoreksi konsep sains yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Kelima, memasukkan ayat al-Quran atau hadis yang relevan dengan materi pengajaran. Keenam, memasukkan informasi kiprah ilmuwan Muslim. Dan terakhir mengaitkan materi IPA dengan penerapan ajaran Islam.
“ Konsep ini disusun tanpa mengubah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan pemerintah. Sehingga buku teks yang sudah ada dapat dipertahankan,” papar alumni Institut Teknologi Bandung ini.
Lebih jauh lagi, Wendi berharap tidak hanya buku teks MBIAS3 saja yang berubah. Namun, konsep ini juga diterapkan oleh guru dalam proses pengajaran di kelas.
Selain itu, pria yang meraih gelar doktor dengan nilai cumlaude ini menawarkan konsep yang sama untuk buku teks mata pelajaran sekolah non agama lainnya seperti Sejarah, Ekonomi, Geografi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan lainnya.
Pasalnya, buku teks pelajaran non agama banyak yang merujuk kepada pendidikan di barat. Sedikit banyaknya terpengaruh dengan pandangan hidup masyarakat Barat . “ Sehingga mempengaruhi cara pandang masyarakat dan bertentangan denga pandangan hidup bangsa Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa,”ungkap Wendi. Ryan Febrianti
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus