Kesetaraan
gender terus diwacanakan kalangan feminis dan pendukungnya melalui berbagai
cara dan sarana. Setelah gagal menyusun draft mengubah KHI ( Kompilasi Hukum
Islam), kini mereka berupaya mempengaruhi penyusunan RUU (Rancangan
Undang-undang) Gender.
RUU
Kesetaraan dan Keadilan Gender yang
sedang dibahas DPR ini menuai banyak kritik dari para Muslimah sendiri. Pasalnya,
RUU ini tidak menjadi solusi bagi permasalahan kaum perempuan saat ini.
Sebaliknya, menimbulkan banyak masalah.
Menurut
Prof. Dr. Nabila Lubis, anggota dewan Pakar ICMI dan MUI, masalah gender timbul
karena kurangnya pemahaman terhadap agama Islam. “ Allah menciptakan manusia
sama, tapi tugasnya yang berbeda,” tegas Nabila.
Bagi Nabila,
penyusunan RUU Gender merupakan ide gila, mereka yang menawarkan isu gender ini semua
dibayar untuk menimbulkan kekacauan. Isu gender ini mengarah pada liberalisme.
“ Padahal, kita sebagai umat Islam tidak merasa ada diskriminasi seperti yang
mereka tuduhkan. Mereka hanya ikut-ikutan apa yang ada di barat,” jelas Dewan
Penasihat Majelis Ilmuwan Wanita Muslim Internasional ini.
Hal senada
diungkapkan Iffah Rochmah, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia bahwa RUU Gender ini merupakan
semangat Barat yang ingin menjadikan wanita bebas dan mandiri. “ Kedua hal
tersebut mengabaikan peran strategis wanita sebagai pendidik dan pencetak
generasi muda. Jangan sampai seorang ibu mengabaikan anak yang dilahirkannya,” ujar
Iffah seperti dikutip Republika.
Dia menilai,
wanita akan lebih terhormat ketika mendidik anak-anaknya di rumah dan mencetak
generasi muda yang tangguh dan beradab. Pasalnya, kesuksesan masa depan anak
ada ditangan seorang ibu, Karena ibu adalah pendidik nomor satu.
Dalam RUU
ini, lanjut Iffah, memang turut memperhatikan pemberdayaan ekonomi supaya
wanita tidak miskin. Namun, permasalahan ini bukanlah berkaitan dengan jenis
kelamin karena lelaki pun banyak yang menderita kemiskinan. “ ini masalah
bersama, penyelesaiannya pun harus bersama-sama,” jelasnya.
Alasan
lain yang mendorong kesetaraan gender,
yakni kekerasan yang sering dialami wanita. Lagi-lagi penyelesaiannya bukan
dengan kesetaraan gender. Melainkan kembali pada ajaran Islam yang
mengedepankan semangat universal. “ Islam mampu menjadi solusi berbagai
masalah, kenapa harus mengacu pada paham lain,” katanya.
Nabila Lubis
menambahkan, RUU gender ini tidak usah disahkan karena tidak penting lagi
dibahas masalah kesetaraan gender. Semuanya sudah jelas dalam Islam, laki-laki
dan perempuan semuanya sama dan mempunyai tugas masing-masing sesuai porsinya.
Sebaliknya,
RUU ini menimbulkan banyak masalah seperti, pembagian hak waris antar lelaki
dan perempuan. Tentu saja tidak bisa disamakan, karena hukumnya sudah tetap
dalam al-quran. Laki-laki mendapatkan bagian lebih besar karena mereka wajib
memberi nafkah anak dan istrinya. Sedangkan perempuan tidak ada kewajiban.
Selain itu,
dalam pasal 9 RUU gender ini dituliskan kesempatan yang sama dan perlakuan yang
adil antara laki-laki dan perempuan dalam Sembilan hak, salah satunya adalah
hak perkawinan dan hubungan keluarga.
Tentu saja
mengundang banyak masalah, misalnya Muslimah boleh menikah dengan non Muslim,
laki-laki juga harus memiliki masa iddah ketika ditinggal mati istrinya.
Perempuan juga harus membayar mahar seperti laki-laki. Diantara masalah paling
aneh yaitu, membolehkan pernikahan beda agama secara muthlak. “ Padahal nash
al-Quran sangat jelas melarangnya, yaitu pada Surah al-baqarah ayat 221 dan
surah al-Mumtahanah ayat 10,” tegasnya.
“ Belum lagi
masalah perwalian yang menjadi syarat dalam akad, atau masalah pernikahan
kontrak demi suatu maslahat tertentu,” tambah Guru Besar Universitas Islam
Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sementara
itu, Dr. Adian Husaini, MA, Pemikir Islam sekaligus Pengamat gerakan Islam
Liberal, mengakui bahwa isi draf RUU
gender tersebut sekuler dan tidak memperhatikan nilai-nilai agama. Perempuan
hanya dianggap memiliki dua fitrah yaitu mengandung dan melahirkan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !